Alhamdulillah akhirnya punya waktu luang
menulis sesuatu yang serius. Liburan memberi jeda dalam pikiran yang terus-menerus dibebani hal-hal nyeleneh di laboratorium. Saatnya menumpahkan banyak
ide menjadi sesuatu yang serius untuk dibaca banyak orang.
Satu tema yang menarik untuk dibahas kali
ini adalah tentang apa yang oleh banyak orang luar disebut "adat membeli suami" di beberapa kota di Sumatera Barat. Satu
tema yang ramai diperbincangkan dalam banyak kesempatan oleh banyak orang dari
banyak pulau di Indonesia.
Adat membeli lelaki hanya ada di kota Pariaman
dan sedikit tersebuar di kota Padang, Ibukota Sumatera barat. Tidak jelas
bagaimana mulanya budaya ini berkembang karena saya sama sekali tidak mendalami
sejarahnya. Yang jelas budayanya masih ada dan dipraktekan hingga sekarang
meskipun tidak se-intens dulu. Setelah saya
pilah-pilah, ternyata ada satu tulisan yang bisa dipercaya dalam menjelaskan
sumber tradisi ini serta bagaimana pelaksanaannya. Penjelasannya sesuai dengan sepanjang adat yang sudah saya terima dari orang-orang tua di kampung saya, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Mohon dibaca link berikut
ini ya:
Tradisi pemberian uang japuik dalam adat perkawinan Padang-Pariaman
*tulisan ini saya posting dari skripsi saya, yang tadi abis bimbingan, tapi bapaknya mau konsep tradisi uang japuik yang ideal, bukan hasil wawancara yg bersifat kekinian, maunya yang sudah dipublikasikan... jadi, saya publikasikan sendiri saja data yang telah saya dapat dari hasil wawancara kepada ketua Perkumpulan Keluarga Padang Pariaman (PKDP) Kota Bandar Lampung. Bapak Herman Nofri Hossen.*
Bajapuik (japuik; Jemput) adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di daerah pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan. (Azwar, 2001:52)
Uang jemputan adalah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua untuk pertama kalinya. Uang jemputan ini berwujud benda yang bernilai ekonomis seperti emas dan benda lainnya. Penentuan uang jemputan dilakukan pada saat acara maresek dan bersamaan dengan penentuan persyaratan lainnya. Sedangkan untuk pemberian dilakukn pada saat menjemput calon mempelai laki-laki untuk melaksanakan pernikahan di rumah kediaman perempuan. (Maihasni, 2010:12)
Uang Japuik adalah pemberian dari keluarga pihak perempuan kepada pihak laki-laki yang diberikan pihak perempuan pada saat acara manjapuikmarapulai dan akan dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua pada pertama kalinya (acara manjalang). Uang Japuik ini sebagai tanda penghargaan kepada masing-masing pihak. (Azwar, 2001:53)
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan, uang jemputan (Uang Japuik) adalah sejumlah pemberian berupa uang atau benda yang bernilai ekonomis yang diberikan pihak keluarga calon pengantin perempuan (anak daro) kepada pihak calon pengantin laki-laki (marapulai) pada saat acara penjemputan calon pengantin pria (manjapuik marapulai).
a. Asal Mula Uang Japuik
Menurut cerita, tradisi bajapuik sudah ada dari sejak dahulu, bermula dari kedatangan Islam ke Nusantara. Mayoritas orang minang merupakan penganut agama Islam. Sumber adat minangkabau adalah Al-Qur’an, seperti kata pepatah minang “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabulloh”. Jadi semua adat minang berasal dari ajaran Islam. (wawancara dengan Bapak Herman Nofri Hossen, senin, 13 Februari 2012)
Demikian pula tradisi bajapuik. Tradisi ini bersumber dari kisah pernikahan Rasululloh SAW. Rasululloh dulunya merupakan pemuda miskin yang bekerja dengan pedagang besar, yaitu Siti Khadijah. Karena Muhammad memiliki sifat mulia, dan mendapat gelar al-amin atau orang terpercaya, Siti Khadijah pun menaruh hati padanya. Akhirnya Siti Khadijah meminta temannya untuk menanyakan pada Muhammad apakah bersedia menjadi suami Khadijah, namun Muhammad merasa kurang enak, karena ia hanya pemuda miskin yang tak punya apa-apa, mana mungkin dapat menikahi Siti Khadijah yang kaya raya. Namun Siti Khadijah berniat menghormati Muhammad, ia pun memberikan sejumlah hartanya pada muhammad agar Muhammad dapat mengangkat derajatnya dari seorang pemuda miskin menjadi pemuda yang setara dengan Siti Khadijah. Akhirnya Siti Khadijah dan Muhammad pun menikah. Siti Khadijah pun setelah menikah sangat menghormati suaminya dengan memanggil gelarnya, junjungannya.
Agama Islam masuk ke indonesia melalui daerah Aceh. Daerah Pariaman merupakan salah satu tempat berkembangnya agama islam, sehingga orang-orang Pariaman sangat memegang teguh agamanya.
Orang asli Pariaman, merupakan penduduk pesisir yang bermata pencaharian nelayan, mereka hidup dari hasil melaut di pantai pariaman. Kemudian datang lah urang rantau dari daerah bukit-tinggi Padang Panjang. Mereka merantau dan mulai bertempat tinggal dan berocok tanam sebagai petani di Pariaman. Kemudian, urang darek ini ingin mengawinkan putri-putri mereka dengan orang Pariaman, namun, orang pariaman dulu merupakan orang miskin, sehingga untuk mengangkat derajat calon suami mereka tersebut, keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah harta unuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suaminya tersebut. Suami mereka pun akan dihormati di keluarga istrinya, dipanggil dengan gelar mereka, misalsidi, bagindo atau sutan. Setelah menikah, suami tinggal di rumah istrinya, di rumah tersebut, suami mereka dipanggil dengan hormat sesuai dengan gelarnya, tidak boleh dipanggil dengan nama aslinya.
b. Proses Pemberian Uang Japuik
Adat perkawinan padang pariaman, terdiri dari adat sebelum menikah, adat perkawinan dan adat sesudah perkawinan. Dalam adat sebelum perkawinan di padang pariaman terdiri dari maratak tanggo, mamendekkan hetongan,batimbang tando (maminang) dan menetapkan uang jemputan. Lalu adat perkawinan yang terdiri dari bakampuang-kampuanngan, alek randam, malam bainai, badantam, bainduak bako, manjapuik marapulai, akad nikah,basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo. Kemudian adat setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu mengantar limau,berfitrah, mengantar perbukoan, dan bulan lemang. uang japuik ditentukan saat sebelum perkawinan dan diberikan saat adat perkawinan, yaitu saat manjapuik marapulai.
Ada dua pihak yang terlibat dalam adat perkawinan, yaitu pihak marapulai(calon pengantin laki-laki) yang terdiri atas mamak marapulai (paman dari pihak ibu), ayah marapulai dan ibu marapulai. Sdangkan dari pihak anak daro(calon mempelai wanita) terdiri atas mamak anak daro (paman dari pihak ibu), ayah anak daro dan saudara laki-laki anak daro. Biasanya diantara mereka ada perantara yang mengerti adat dan pepatah petitih bahasa minang, yaitu kapalo mudo. Kapalo mudo marapulai dan kapalo mudo anak daro yang akan saling bercakap-cakap dalam pepatah petitih bahasa minang, yang isinya menyampaikan maksud keluarga tersebut.
Bila ada orang pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasa cocok, maka keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo(menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita mengenal calon suaminya. Bila dirasa cocok, maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan bertandang kembali ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai) dan bermusyawarah.
Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro akan menyempaikan maksud mereka kepada mamak tungganai (paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik akan disiapkan oleh keluarga wanita. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harta pusako untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan dibicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya.
Acara dilanjutkan dengan batimbang tando (meminang). Pada hari itu keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya. Dalam acara ini calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa mereka akan menikah. Bila acara ini sudah selesai, pembicaraan akan meningkat pada masalah uang japuik, mahar, dan hari pernikahan (baralek). Kemudian acara dilanjutkan dengan pepatah petitih yang diwakili oleh kapalo mudo anak daro(pengantin perempuan) dan kapalo mudo marapulai (pengantin laki-laki).Kapalo mudo adalah orang-orang yang mengerti tentang pepatah minang. Jalannya acara perkawinan tergantung dari percakapan kapalo mudo ini.
Setelah acara batimbang tando, maka acara dilanjutkan dengan menetapkanuang jemputan dan uang hilang. Jika marapulai merupakan orang keturunan bangsawan atau mempunyai gelar, maka nilai uang japuiknya akan tinggi. Sekarang nilai uang japuik ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan jabatan marapulai.(disarikan dari jurnal Depdikbud Dirjen Kebudayaan, balai kajian sejarah dan nilai tradisional padang 1999/2000 berjudul Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat Padang Pariaman Dalam Upacara Perkawinan. Halaman 29-59)
Besar uang japuik ditentukan dalam uang upiah yang nilainya sama dengan 30 ameh (emas), satu ameh setara dengan 2,5 gram emas. Semakin tinggi nilai uang japuik yang diberikan, menunjukkan semakin tinggi status sosialmarapulai. Pada zaman sekarang, nilai uang jemputan bisa diganti dengan uang rupiah biasa, hewan atau kendaraan. Besar uang japuik, bila orang biasa, misal profesinya tukang becak atau orang biasa, dia dijemput dengan uang senilai Rp. 5.000.000, sedangkan bila ia adalah sarjana, guru, dokter akan dijemput dengan uang senilai Rp. 35.000.000-Rp.50.000.000. belum lagi bila mereka juga mempunyai gelar dari mamaknya, seperti sidi, bagindo atau sutan. (wawancara dengan Ibu Suhermita jum’at 23 Juni 2012),
Setelah uang japuik diberikan, acara dilanjutkan dengan acara alek randam(persiapan) dan malam bainai. Setelah semua persiapan selesai, maka pada hari yang telah ditentukan maka keluarga anak daro yang terdiri darimamak, ayah, kakak laki-laki akan menjemput pengantin laki-laki (marapulai)di rumahnya membawa pakaian pengantin serta persyaratan termasuk uang japuik. Sampai di rumah marapulai, telah menunggu keluarga marapulai,maka mamak anak daro akan membuka percakapan dan diakhiri dengan membawa marapulai, sedangkan uang japuik akan diserahkan kepada ibumarapulai.
Marapulai pun dibawa ke tempat akad nikah. Setelah menikah, acara dilanjutkan dengan pesta perkawinan (baralek). Lalu dilanjutkan acara setelah perkawinan, setelah kedua pengantin bersanding di rumah anak daro, maka dengan berpakaian adat lengkap dan diiringi dengan kerabat, membawa makanan adat, mereka mengunjungi rumah mertua (mintuo) anak daro, acara ini disebut manjalang mintuo. Pada acara ini lah uang japuik akan dikembalikan dalam betuk perhiasan kepada anak daro yang teradang jumlahnya dilebihkan oleh ibu marapulai.
c. Sanksi dan Makna Uang Japuik
Bila ada perkawinan yang tak menyertakan uang japuik, maka akan dikenai sanksi, terutama sanksi moral. Keluarga tersebut tentunya akan mendapat cemooh dari sanak keluarga dan teman-temannya, terutama dari mamaknya. Lalu keduanya mungkin bisa tidak jadi menikah, kemudian dicap tidak beradat dan akhirnya diusir dari kampungnya karena dianggap tidak menghargai ninik mamak.
(wawancara dengan Bapak Herman Nofri Hossen, 2 April 2012).
Selama ini orang-orang di luar suku pariaman dan orang pariaman yang tak tahu dengan budayanya menganggap bahwa bila ingin menikahi laki-laki pariaman, maka harus menjemputnya dengan sejumlah uang, bahkan ada yang megatakan dengan bahasa kasar pria tersebut dibeli. Tentu anggapan itu membuat geram sejumlah tokoh adat pariaman, namun memang anggapan tersebut telah tertanam di benak masyarakat luas yang tak mengerti. Buku-buku yang menliskan tradisi bajapuik pun tak ada yang menyanggah pendapat ini, datuk-datuk hanya diam karena kebanyakan mereka diangkat sebagai datuk karena mempunyai uang atau untuk mengangkat namanya saja, tak mengerti benar dengan adat dan tak memenuhi syarat menjadi datuk. Padahal tradisi bajapuik bertujuan mengangkat derajat pria di pariaman, mereka dijemput untuk menghormati pria tersebut yang akan menjadi anggota baru keluarga besar sang istri (urang sumando).
Bagi kami sendiri, orang-orang di luar kota
tersebut, atau kalau boleh saya sebut orang-orang di Kabupaten Solok dan sekitarnya
memiliki budaya yang terbalik dari itu semua. Bahkan ada yang cenderung
memandang “hina secara adat” bahwa jika tidak karena membeli, tidak akan punya
suami. Karena itu sangatlah tidak tepat men-generalisasi budaya ini dilakukan
oleh semua orang Minangkabau. Ini merupakan isu sangat sensitif bagi sebagian
besar orang Minangkabau yang bukan berasal dari Padang dan Padang Pariaman,
Terutama yang berasal dari daerah tiga luhak (Bukittinggi, Payakumbuh, dan Padang
Panjang) tempat kerajaan Minangkabau mula-mula berdiri. Orang Padang adalah
bagian dari suku bangsa Minangkabau, tetapi Minangkabau tidak hanya Padang
saja. Kembali lagi, semua ini hanya permasalahan adat saja, akan tetapi punya nilai historis, norma dan moralnya masing-masing sesuai di mana adat itu diberlakukan.
Karena itu mari berusaha memandang ini
sebagai perbedaan budaya dan menghormati tradisi ini sebagai kekayaan budaya
Bangsa kita. Saya yakin ada banyak budaya lainnya di Indonesia yang patut kita
pahami sungguh-sungguh sebelum memberikan justifikasi.
Salaman yahhh.......
2 komentar:
Wah jadi tahu awal mulanya adat "membeli pria" disana.. Dan ternyata gak semua daerah yaa yang punya adat demikian. Next topic mungkin bisa dibahas tentang kalau pria minang nikah dengan wanita bukan minang, pria tersebut sudah bukan berdarah minang lagi. Lalu, apa akibatnya? Dan apa ada dasarnya ya? *penasaran*
Terima kasih sudah berkunjung ke Blog saya. Mohon maaf balasnya sudah lama banget. Sedang Pura-pura sibuk dengan kerjaan di Lab. Usulannya menarik juga untuk di bahas, tapi mungkin saya belum bisa ulas dalam waktu dekat. Hanya sedikit koreksi sekarang, kalau pria minang menikah dengan wanita bukan minang, pria tersebut masih tetap berdarah merah dan bersuku minang. Akibatnya, tidak apa-apa sih. Hanya nanti anaknya yang lahir tidak akan memiliki hak dalam suku Minang karena suku tidak diwariskan dari bapak tetapi dari Ibu, sementara ibunya tidak berasal dari minang. Sebetulnya ada alasan sangat unik untuk hal ini, taapi nanti ya. Sekarang selamat penasaran. Hehe...
Posting Komentar