The Sacred of Feminine

Saya sangat ingin menuliskan yang satu ini karena begitu menggelitik, jika mengingat kondisi umum di ranah minang saat ini. Bertahun-tahun yang lalu saya mempelajari sebuah kitab berjudul Uquudu Lujain fii Bayaani Huquzzaujaini karangan Syekh Nawawi Al-Bantani, seorang ulama besar asal Banten. Beliau adalah satu dari dua orang Indonesia yang saya ketahui pernah menjadi Imam besar Masjidil Haram dari mazhab Syafii dan Qadhi (Hakim) di kota suci Mekkah Al-mukarramah.  Ulama lainnya dari Indonesia adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dari Sumatera Barat. Begitu besarnya pengaruh beliau di Indonesia sampai Presiden SBY sendiri daang menghadiri acara Haul untuk mengingat sang Syekh tahun 2011 lalu di Banten.  

Secara umum kitab ini membahas hak-hak suami, istri, dan anak-anak di rumah tangga sesuai ajaran Rasullulah. Bagian menariknya adalah kewajiban suami terhadap istri dan istri terhadap suami. Saya tidak ada maksud untuk menyalahkan atau menggurui siapapun, hanya berbagi fakta-fakta di lapangan.

Disebutkan dalam kitab tersebut :


"Dalam Surat Al-Baqoroh ayat 228 diterangkan:
Artinya : “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban
nya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai suatu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. ”

Rasulullah S.A.W bersabda: “KHOIRUKUM KHOIRUKUM LIAHLIHII WA ANA
KHOIRUKUM LI AHLII. ”
Artinya : “ Sebaik-baik orang diantara kamu adalah mereka yang paling bagus
terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik diantaramu
terhadap keluarga (istri-istri)ku. ” (Riwayat Ibnu Hibban)."


Kutipan di atas rasanya sudah jelas menerangkan tentang kedudukan suami dan istri dalam sebuah keluarga dan bahwa suami merupakan kepala keluarga yang ditinggikan sedikit kedudukannya dibandingkan istri dan anak-anak (saya yakin kita semua sudah tahu hal ini). Rasulullah SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya dalam hal apa saja, tidak ada yang dapat menandingi keadilan dan kemuliaan budi pekerti beliau terhadap keluarga. Inilah salah satu alasan kenapa setelah beliau wafat, tidak ada yang boleh menikahi janda-janda beliau.

Pertanyaan besarnya adalah suami yang bagaimanakah yang ditinggikan derajatnya itu? Keterangan ayat dan Hadist di atas tidak secara eksplisit menjelaskan tentang kriteria suami yang baik dan istri yang baik dalam hal hak dan kewajibannya.

Berikut kutipan selanjutnya dari kitab tersebut:  

"Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa, ada seseorang bermaksud menghadap
Umar Bin Khattab hendak mengadukan perihal perangai buruk istrinya.
Sampai ke rumah yang dituju orang itu menanti Umar Ra di depan pintu. Saat
itu ia mendengar istri Umar mengomeli dirinya, sementara Umar sendiri hanya
berdiam diri saja tanpa bereaksi. Orang itu bermaksud balik kembali sambil
melangkahkan kaki seraya bergumam:”KALAU KEADAAN AMIRUL
MUKMININ SAJA BEGITU, BAGAIMANA HALNYA DENGAN DIRIKU. ”
Bersamaan itu Umar keluar, ketika melihat orang itu hendak kembali. Umar
memanggilnya, katanya : ”ADA KEPERLUAN PENTING ?”. Ia menjawab : ”
AMIRUL MUKMININ, KEDATANGANKU INI SEBENARNYA HENDAK
MENGADUKAN PERIHAL ISTRIKU LANTARAN SUKA MEMARAHIKU.
TETAPI BEGITU AKU MENDENGAR ISTRIMU SENDIRI BERBUAT
SERUPA, MAKA AKU BERMAKSUD KEMBALI. DALAM HATI AKU
BERKATA:KALAU KEDAAN AMIRUL MUKMININ SAJA DIPERLAKUKAN
ISTRINYA SEPERTI ITU, BAGAIMANA HALNYA DENGAN DIRIKU. ”
Umar berkata kepadanya:”SAUDARA, SESUNGGUHNYA AKU RELA
MENANGGUNG PERLAKUAN SEPERTI ITU DARI ISTRIKU KARENA
ADANYA BEBERAPA HAK YANG ADA PADANYA. ISTRIKU BERTINDAK
SEBAGAI JURU MASAK MAKANANKU. IA SELALU MEMBUATKAN ROTI
UNTUKKU. IA SELALU MENCUCIKAN PAKAIAN-PAKAIANKU. IA MENYUSUI ANAK-ANAKKU, PADAHAL SEMUA ITU BUKAN
KEWAJIBANNYA. AKU CUKUP TENTRAM TIDAK MELAKUKAN PERKARA
HARAM LANTARAN PELAYANAN ISTRIKU. KARENA ITU AKU
MENERIMANYA SEKALIPUN DIMARAHI. ”
Kata orang itu : ”AMIRUL MUKMININ, DEMIKIAN PULAKAH TERHADAP
ISTRIKU?”. Jawab Umar : ”YA, TERIMALAH MARAHNYA. KARENA YANG
DILAKUKAN ISTRIMU TIDAK AKAN LAMA, HANYA SEBENTAR SAJA. ”

Bagian paling eksplisit dari Hadist dan atsar tentang hak dan kewajiban suami-istri tidak bisa saya tuliskan di sini karena cukup rumit untuk menjelaskannya sementara saya bukan pakarnya. Namun tetap dari Atsar di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa :  MENCUCI PAKAIAN, MEMASAK MAKANAN, BELANJA KE PASAR, MENGASUH DAN MENDIDIK ANAK, ADALAH JUGA KEWAJIBAN SEORANG SUAMI selain mencari nafkah. Ini tentu menjadi dilemma tersendiri karena setahu saya bertentangan dengan pendapat umum masyarakat di negeri kita. Tapi itulah kenyataannya dan itulah hukum yang ditegaskan oleh Islam. Seorang khalifah Umar bin khatab, manusia yang paling mulia setelah nabi Muhammad dan sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a, pemimpin bagi sebuah kerajaan besar masa itu tentu tidak akan bertindak sembarangan tanpa alasan dalam menyampaikan hukum-hukum termasuk dalam masalsah rumah tangga.

Lantas kalau begitu apa dong kewajiban isteri ? Berikut keterangan Syeikh nawawi al-bantani: 

"Tersebut dalam suatu riwayat ada seorang perempuan datang menghadap
Nabi S.A.W seraya berkata : “Wahai Rasululloh, aku ini utusan dari kaum
wanita yang diminta menghadapmu. Yaitu menanyakan masalah jihad yang
hanya diwajibkan Alloh kepada kaum laki-laki. Kalau merreka terluka
mendapatkan pahala. Kalau mereka terbunuh, mereka bahkan sebagi orangorang
yang hidup disisi Tuhannya seraya memperoleh rizki. sedangkan kami
dari golongan Wanita ini selalu setia mengikuti dan membantu mereka
menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Namun demikian
kenapa kami tidak memperoleh pahala berjihad seperti yang diberikan pada
mereka Rosulloh S.A.W Bersabda:”SAMPAIKAN KEPADA SIAPA SAJA
KAUM WANITA YANG KAMU JUMPAI BAHWA, MENTATI SUAMI DENGAN
MENGAKUI HA-HAKNYA SESENGGUHNYA TELAH MENYAMAI DENGAN
PAHALA BERJIHAD. TETAPI SEDIKIT SEKALI DIANTARAMU
MELAKSANAKAN. ” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar da Thabrani)."

Perkara yang diberitakan oleh Rasulullah di atas kelihatannya saja yang ringan, tapi kenyataannya sangat-sangatlah berat.

Dengan membeberkan masalah ini saya bukan bermaksud untuk menggoyang pondasi tata kehidupan bermasyarakat kita tetapi ingin berbagi bahwa beginilah kemuliaan Islam. Suami dimuliakan Allah dalam rumah tangganya karena tugasnya yang sangat-sangat berat seperti tersebut di atas, Istri dimuliakan Allah dalam rumah tangga karena ketaatannya kepada suami yang TAAT. Namum menurut saya, Islam tentu saja tidak kaku terhadap realita kondisi kerja dan ketersediaan waktu bagi seorang suami untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya di atas. Disinilah letaknya perlu saling menghargai dan mengerti agar tercipta harmoni. Pada situasi tertentu tentu ada skala prioritas yang harus diterapkan suami karena ketatnya persaingan dalam mencari nafkah.

Namun begitu ada tugas pokok yang tidak bisa diwakilkan sama sekali oleh kepala rumah tangga seperti di jelaskan sang Syekh di bawah ini :

"Ketahuilah bahwa, setiap suami hendaknya pandai-pandai memberi pengajaran atau wasiat-wasiat kebajikan kepada isterinya. Rasulullah S.A.W
mengingatkan :
“ROHIMALLAHU ROJULAN QOOLA YAA AHLAAHU SHOLAA TAKUM
SHIYAA MAKUM DZAKAA TAKUM MISKIINAKUM YATIIMAKUM
JIIROONAKUM LA’ALLAKUM MA’AHUM FIL JANNATI. ” Artinya: “Mudahmudahan
Allah merahmati seorang suami yang mengingatkan isterinya, ‘HAI
ISTRIKU, JAGALAH SHALATMU, PUASAMU, ZAKATMU. KASIHANILAH
ORANG-ORANG MISKIN DI ANTARAMU, PARA TETANGGAMU. MUDAH-MUDAHAN
ALLAH MENGUMPULKAN KAMU BERSAMA MEREKA DI
SURGA’. ”
Hendaknya seorang suami selalu memperhatikan nafkahnya sesuai dengan
kesanggupannya. Hendaknya suami selalu bersabar jika menerima cercaan
isterinya, atau perlakuan-perlakuan tidak baik lainnya. Hendaknya suami
mengasihani isterinya, yaitu dengan bentuk memberi pendidikan secara baik,
kendati ia seorang terpelajar. Sebab kaum wanita bagaimanapun diciptakan
dalam keadaan serba kurang akal dan tipis beragama (kecuali hanya sedikit
saja yang mempunyai akal panjang dan beragama kuat). Tersebut dalam
hadits: “LAU LAA ANNALLAHA SATAROL MAR ATA BIL HAYAA ILAKAA
NATS LAA TUSAA WII KAFFAN MIN TUROOBIN. ”

Artinya: “Kalaulah bukan karena Allah membuatkan penutup rasa malu bagi
kaum wanita, niscaya harganya tidka dapat menyamai segenggam debu. (alhadits).
Hendaknya seorang suami selalu menuntun isterinya pada jalan-jalan yang
baik. Memberi pendidikan kepadanya berupa pengetahuan agama (Islam),
meliputi hukum-hukum bersuci (Thaharah) dari hadats besar. Misalnya
tentang haid dan nifas. Seorang isteri harus diberi pengetahuan tentang
persoalan yang sangat penting itu. Sebab bagaimanapun masalah itu
berhubungan erat dengan waktu-waktu shalat.
Demikian pula memberikan pengajaran terhadap masalah ibadah. Meliputi
ibadan fardhu (wajib) dan sunnahnya. Pengetahuan tentang shalat, zakat,
puasa dan haji.
Jika seorang suami telah memberi pendidikan tentang persoalan pokok
tersebut, maka isteri tidak dibenarkan keluar rumah untuk bertanya kepada
ulama. Tetapi kalau pengetahuan yang dimiliki suami tidak memadai, sebagai
gantinya maka ia sendiri yang harus siap untuk selalu bertanya kepada ulama
(orang yang mengerti ilmu agama). Artinya, isteri tetap tidak diperkenankan
keluar rumah. Namun, kalau suami tidak mempunyai kesanggupan untuk bertanya, maka
isteri dibenarkan keluar rumah untuk bertanya tentang persoalan agama
yang dibutuhkan. Hal itu malah menjadi kewajibannya, dan bahkan kalau
suaminya melarang keluar berarti telah melakukan kamaksiatan (dosa).
Tetapi isteri harus meminta izinnya lebih dulu jika sewaktu-waktu hendak
belajar mengenai ilmu-ilmu tersebut. Isteri harus memperoleh keridhaan
suaminya."


Memberikan pendidikan agama mulai dari dasar sampai kepada yang pokok-pokok (aqidah, ibadah fardhu ‘ain dan muamalah) adalah kewajiban mutlak yang diletakkan dipundak laki-laki untuk dilaksanakan kepada isteri dan anak-anaknya.. Karena itu sebelum menikah sangat ditekankan oleh Rasulullah agar seorang laki-laki mempersiapkan dan mendidik dirinya dengan ilmu-ilmu agama yang mencukupi.

Suami yang dapat menjalankan kewajiban-kewajiban di ataslah yang oleh rasulullah dalam suatu hadist disebutkan : seandainya boleh manusia sujud kepada sesama manusia, maka aku perintahkan anak sujud kepada ibunya dan istri sujud kepada suaminya (hadist). Wallahu’alam.

Selama di Jepang ini, saya sering terpana sendiri. Semua yang diterangkan oleh sang Syekh dalam kitabnya saya temukan di sini. Dipraktekkkan oleh para senpai sesama warga Negara Indonesia. Saya hampir tidak percaya, ditempat yang jauh ini ada orang Indonesia yang mengamalkan syariat tersebut, calon-calon Doktor pula. Pagi-pagi mereka mencuci pakaian (yahh walaupun dengan mesin cuci…, -kan Jepang Negara canggih), memandikan bayinya, sarapan lalu berangkat ke Kampus. Tengah hari pulang untuk makan siang dan bermain dengan si buah hati selama satu jam. Balik lagi ke Lab. Dan pulang jam 8-9 malam dengan membawa sekeranjang besar makanan serta kebutuhan sehari-hari dari supermarket. Saat ada acara PPI atau jalan-jalan weekend, merekalah yang menggendong si buah hati, nai kereta, makan di restoran, mengunnjungi castle. Bagi yang tidak biasa melihatnya mungkin kelihatan lucu tapi sungguh luar biasa dalam pandangan saya. Setelah saya tanyakan langsung kepada para Senpai tersebut, mereka melakukannya dengan ikhlas, karena mereka memang ingin memuliakan isterinya. Bukan karena mereka anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Isteri).

Ahhh, Islam sungguh luar biasa.
ps ; (ingin saya bagi foto-fotonya di sini, tapi takut kena marah sama senpai).








comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© The Viko's Emporium | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger