Ketika melihat
orang tua yang berpakaian lusuh, badan kurus, kulit keriput, meminta-minta di
tengah jalan, aku berpikir apa jadinya aku jika laki-laki itu adalah orang
tuaku. Apakah yang akan aku makan malam ini dan di mana aku tinggal? Mungkinkah
hanya di bawah atap langit yang Maha luas ini dengan sinar bintang sebagai
lampunya? Apakah yang aku makan? Mungkinkah hanya nasi-nasi sisa yang didapat
oleh lelaki tua itu dari tempat sampah atau sekotak nasi berlumur kuah santan
yang dibelinya murah dari penjual nasi di pasar? Apa jadinya aku kalau dia
orang tuaku?
Ketika aku lihat
anak kecil dengan pakian compang-camping, celana robek menenteng tas karung,
duduk di pelataran pasar raya, menunggu pengunjung toko mewah yang mau menyemir
sepatu mahal mereka sambil melihat-lihat barang baru, aku berpikir bagaimana
jika anak itu adalah aku? Apakah dia sekolah? Di mana dia tinggal dan apa yang
bisa dimakannya malam ini? Jam berapa dia berangkat dari rumah untuk mencari
uang dan jam berapa dia pulang?
Saat aku lihat
di televisi, anak-anak menjadi korban perang, korban kemiskinan, korban bencana
alam, korban kebodohan dan kemunafikkan para penguasa, aku berpikir bagaimana jika
salah satu dari mereka adalah aku? Tidak tahu apakah besok bisa hidup dengan
selamat, kapan akan bisa sekolah, makan dengan layak di rumah yang layak
bersama keluarga yang tertawa riang penuh kehangatan.
Saat aku lihat
“brandal-brandal Ciliwung” mandi dari kotornya air sungai yang tercemar
berbagai sampah di sepanjang badan sungai, aku berpikir bagaiaman kalau salah
satu dari mereka adalah aku? Berapa lama aku sangup bertahan hidup tanpa sakit,
tanpa terinfeksi penyakit dadam lingkungan yang penuh polutan seperti itu?
Bisakah mereka berkonsentrasi belajar di sekolah sementara berbagai penyakit siap
mengintai tubuh-tubuh muda mereka yang penuh harapan?
Saaat kulihat
anak yatim berkumpul di Asrama panti asuhan mereka, bagaimana jadinya kalau aku
juga di sana? Mereka tidak punya orang tua yang akan memandu hidupnya, sebagian
besar berharap dari bantuan para donator yang ingin membantu dengan ikhlas,
atau para pejabat yang sedang berkampanye untuk mempertahankan jabatannya. Mereka
tidak tahu apakah besok mereka bisa terus berada di sana dalam keadaaan baik
atau tidak. Karena kabarnya banyak pejabat yang menyalurkan bantuan hanya di
musim kampanye saja, semenetara pohon kampanye hanya berbuah sekali dalam 5
tahun saja di Indonesia.
Saat kuingat
anak-anak berlarian di belakang rumahku memunguti sampah botol sambil
menyandang karung besar, aku berpikir bagaimana kalau aku adalah salah satu
dari mereka. Bagaiaman caranya mereka hidup? Dengan sekarung botol PET bekas
yang harganya hanya beberapa puluh ribu, yang harus mereka kumpulkan dalam
waktu berhari-hari, berminggu-minggu, cukupkah itu untuk makan? Bagaimana
sekolah? Padahal pekerjaan itu mereka warisi dari orang tua mereka yang punya
perusahaan yang sama, perusahaan pengumpul barang bekas, yang keuntungannya
tidak jelas berapa tapi pengeluarannya selalu sama setiap hari bahkan cenderung
naik sebab keluarga perlu makan.
Apakah pantas
aku bilang: Syukurlah aku bukan bagian dari mereka?
Ahhhh……,
ntahlah, apapun itu aku harus bersyukur dengan keadaaan ku sekarang. Bisa
menikmati pendidikan yang layak, punya harapan untuk membangun masa depan. Merekapun
tentu punya, bahkan mungkin lebih besar dari harapanku. Lebih berkobar-kobar
penuh semangat karena terpaan panas matahari setiap hari. Apapun itu, aku ingin
membantu mereka. Sedikit memang, taapi tidak apalah. Siapa tahu yang sedikit
itu adalah yang akan memperbaiki dunia ini. Satu dua orang yang penuh harapan
akan kebaikan dan kecerahan di masa depan bisa jadi pembawa perubahan dunia
ini, atau Negara kami, atau provinsi kami, atau kota kami, atau kampong kami,
yang jelas ada harapan. Karena harapan adalah lilin yang tidak boleh padam.