Memperbaiki Paradigma Pendidikan Indonesia



Pendidikan di Indonesia sepertinya berkembang mengikuti paradigma yang kurang tepat. Kalau kita perhatikan di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai SMA, siswa tiap hari senantiasa dibebani dengan muatan kurikulum yang sangat padat, materi yang cenderung memberatkan dengan waktu bermain yang semakin berkurang. Lihat saja di kelas 3 SD misalnya, siswanya sudah dihadapkan pada soal-soal matematika yang berbentuk cerita (semacam aritmetika sosial). Padahal, siswa di kelas ini baru saja paham bagaimana cara kali-bagi-tambah-kurang (KABATAKU) dalam bentuk deret ke bawah. Sungguh memberatkan. Dan seperti pada umunya sekolah, matematika selalu saja menjadi ukuran pertama kepintaran siswa di sekolahnya. 


Pindah ke SMP, muncul lagi pelajaran-pelajaran baru yang dulunya hanya bersifat pengenalan tetapi sekarang sudah disulap menjadi mata pelajaran sendiri seperti kimia. Di SMA bahkan materi matematika sudah mulai menggarap lahan yang seharusnya jadi milik mahasiswa matematika tahun pertama seperti Kalkulus Dengan Pendekatan Geometri karya Wiliam J.purcel. Seakan-akan yang ada disekolah hanya ada pelajaran, menghafal rumus dan mengerjakan soal.

Dengan alasan mempercepat kemajuan pendidikan, belakangan ini diterapkan lagi beberapa metoda seperti kelas akselerasi, kelas unggul sampai kelas berstandar Internasional. Tentu saja ini sangat baik karena membuka kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi dirinya lebih jauh. Ada banyak pengalaman yang bakal bereka dapatkan mengingat kelas-kelas seperti ini memakai metoda pengajaran yang berbeda dengan kelas reguler seperti gurunya yang berbahasa inggris, buku-buku dan fasilitas internet. Tapi apakah semua siswa akan sanggup? Berapa persen siswa yang sebenarnya betul-betul ingin berada di kelas ini?

Fenomena percepatan pendidikan dan peningkatan muatan kurikulum segera diikuti dengan menjamurnya Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) hingga ke kota kecamatan. Siswa berlomba-lomba untuk mencari sarana belajar tambahan untuk mendongkrak prestasinya di sekolah. Sebagian ada yang berpikir kalau mereka tidak ikut Bimbel, berarti ga keren, bisa ketinggalan di sekolah. Lembaga Bimbel pun dengan jeli mempromosikan berbagai keunggulan bila belajar di tempat mereka seperti rumus-rumus praktis, prediksi soal ujian hingga bantuan mengerjakan PR.

Seperti semua kebijakan lainnya, sebaik apapun itu pasti akan menimbulkan efek samping yang bisa jadi tidak kita inginkan. Intinya haruslah ada pengelolaan secara bijak mulai dari sosialisasi sampai evaluasinya. Lebih utama lagi tentunya perbaikan tentang paradigma apa sebetulnya pendidikan itu.

Mari kita melihat sekilas ke luar negeri. Di jerman, muatan kurikulum pendidikan untuk sekolah dasarnya tidaklah berat. Siswa kelas 3 sekolah dasar di sana hanya diwajibkan untuk menguasai perhitungan yang jumlah bilangan akhirnya tidak lebih dari seratus. Kalau mereka sudah paham, itu sudah cukup. Hal yang paling fokus di pendidikan dasar di sana adalah implementasi nilai-nilai dan cara bersikap dalam pergaulan sosial seperti kejujuran, saling menolong, cara mengemukakan pendapat, menghargai lingkungan hidup, fasilitas umum dan bersosialisasi. Sejalan dalam masa 3 tahun tersebut, guru-guru mereka mengawasi siswa dengan seksama untuk mengetahui perkembangan dan kecerdasan seperti apa yang paling menonjol dimiliki oleh siswa tersebut. Ketika mereka melanjutkan ke sekolah menengah pertama, masing-masing siswa akan mendapatkan rekomendasi dari gurunya tentang bakat apa yang menonjol dalam diri siswa tersebut. Kemudian setiap siswa langsung diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan yang sesuai dengan bakatnya.

Para pendidik di Jerman sadar betul bahwa intelegensi manusia berbeda-beda. Ada yang memang cerdas dalam penalaran dan logika seperti Stephen Hawking si Lucasian Prof. of Mathematic yang menemukan teori big-bang, ada yang cerdas dalam hal seni seperti Wolfgang Amadeus Mozart dan Chopin, ada yang cerdas dalam bidang olahraga seperti Michael Jordan yang bisa air walk selama 8 detik. Kalau guru sudah bisa mengidentifikasinya, maka siswa tinggal mengasah kecerdasan mereka itu agar bersinar lebih cemerlang.

Pemerataan pendidikan juga dipertahankan di Jerman. Penduduk Munchen misalnya, tidak boleh bersekolah ke luar Munchen karena rayon sekolahnya adalah di Munchen. Sistem rayon ini berlaku hingga ke perguruna tinggi. Dengan demikian, tiap daerah dengan universitas masing-masing dijamin memiliki SDM yang sejajar. Apalagi mereka yang kuliah sudah mengambil bidang yang memang sesuai dengan bakatnya sehingga tidak ada masalah ketika dosen mengembangkan dan membebankan mereka dengan materi-materi yang sangat padat sebab memang itulah yang mereka cari. Itulah mengapa kuliah S1 dan S2 di jerman sangat berat di bandingkan Negara lain.

Mari kembali ke Negara kita. Keberadaan kelas-kelas percepatan dan sejenisnya mungkin saja akan menimbulkan kesenjangan sosial bagi siswa yang tidak masuk kelas tersebut. Mereka bisa saja memandang perhatian guru berat sebelah, merasa dianak-tirikan dan selalu jadi nomor dua. Padahal bisa jadi kecerdasan mereka bukanlah matematika atau fisika. Tidak jarang mereka akan melakukan hal-hal tertentu untuk mendapatkan kembali perhatian gurunya. Mujur kalau cara mereka mencari perhatian dalam bentuk yang positif. Jika tidak? Munculah tawuran, narkoba, vandalisme, kelas-isme diikuti  isme-isme yang lain.

Selayaknya guru-guru di lingkungan seperti ini mendapat perhatian lebih, yaitu guru-guru yang bisa meredam semua -isme dikelasl non-unggulan tadi. Jarang sekali orang yang bisa misalnya, mendidik siswa yang kekurangan sampai sukses seperti Ibu Muslimah Hafsari, menenangkan siswa yang cendrung nakal, mengarahkan siswa yang masih mencari jati diri dan kecerdasannya bahkan menghadapi acungan golok dari orang tua siswa di sekolah-sekolah pinggiran yang marah saat menerima rapor karena nilai anaknya cabe semua. Sungguh jarang. Jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan guru-guru yang sukses mengajar siswa yang punya fasilitas lengkap, “patuh-patuh”, nurut, mikul nuwun mendem jero serta cerdas secara matematikanya.
Kemunculan Lembaga Bimbel tentu saja sangat positif karena bisa membuka lapangan pekerjaan baru sekaligus membantu siswa yang ingin belajar lebih baik. Sayangnya tidak jarang di alam bawah sadar siswa terbentuk pemikiran lain. Pemikiran bahwa dengan masuk bimbel mereka pasti mendapat nilai baik, punya rumus-rumus praktis untuk menyelesaikan soal dan merasa lebih tinggi dari siswa non-bimbel. Sebagai pengajar bimbel saya sendiri menyadari satu hal lain; siswa beranggapan bahwa mereka harus mendapatkan sesuatu yang lebih dari tentornya karena mereka sudah membayar untuk itu. Tentor lebih dihargai daripada guru-guru mereka di sekolah karena tentor dianggap lebih baik dalam hal mengajar serta mau membantu penyelesaian tugas rumah mereka. Jelasnya, ini adalah pemikiran yang tidak menghargai proses, terlalu fokus kepada hasil sehingga tidak siap ketika menghadapi kondisi yang tidak ideal dikemudian hari.

Hidup tidak selalu mudah dan mulus, tapi perjuangan untuk menghadapinya adalah kesuksesan yang sering terlupakan. Kesuksesan bukan hanya matematika saja, bukan hanya materi saja.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© The Viko's Emporium | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger